SELAMAT DATANG DI BLOG SAYA,TERIMA KASIH SUDAH BERKUNJUNG...!!!
>

Senin, 13 September 2010

Nikah Mit'ah dan Kawin Kontrak


Cetak E-mail
Ditulis oleh Dewan Asatidz   
----- Tanya ----- Assalamu'alaikum wr. wb. 1. Bagaimana hukumnya nikah mut'ah? 2. Saya tidak tahu ini benar atau tidak, tetapi beberapa tahun yang lalu ada kasus populer mengenai perkawinan (sesaat?) yang dilakukan di hotel tanpa wali (karena si wanita janda?) tapi ada saksi. Kasus itu sempat menimbulkan pro-kontra, namun berakhir begitu saja. Mohon penjelasan Bapak terhadap hal semacam ini. Terima kasih Wassalam Bali ------ Jawab: ------ Wa'alaikum salam 1. Perdebatan soal kawin mut'ah antara Sunni dan Syiah telah banyak diketahui oleh khalayak. Sunni mengatakan, kawin mutah telah dilarang oleh Nabi Muhammad saw pada berbagai kesempatan. Dan menurut Syiah, Nabi juga pernah memperbolehkannya dalam berbagai kesempatan. Yang telah menjadi kesepakatan sejarah, Umar bin Khatthab ra. saat menjabat Khalifah telah melarangnya. Menurut sebuah penelitian, sebetulnya mutah di Iran sendiri tidak populer, kasus perkawinan tipe ini tak banyak dilakukan. Namun penelitian ini agak meragukan, karena biasanya kawin mutah dilakukan dengan cara sembunyi-sembunyi, sehingga agak susah dijangkau oleh pengamatan sepintas. Syahla Hairi, antropolog wanita Iran keturunan kaum agamawan, akhirnya meneliti kembali fenomena perkawainan mut'ah. Kedekatannya dengan kaum agamawan Iran memungkinkannya meneliti kembali dengan lebih dekat. Menurutnya, perkawinan model ini cukup populer justru di tengah-tengah komunitas agamawan sendiri. Dan pada kenyataannya, kaum perempuan telah banyak menjadi korbannya, terutama mereka yang berada dalam jurang kemiskinan. Sementara keluarga kelas menengah dan kelas atas tidak pernah rela melepaskan putri-putrinya melangsungkan perkawinan model demikian ini. Para ulama kita telah melakukan hal yang benar dengan mengeluarkan fatwa keharaman model perkawina ini. 2. Menurut madzhab Hanafiyah, seorang perempuan diperbolehkan mengawinkan dirinya sendiri tanpa membutuhkan wali. Menurut madzhab ini, kehadiran seorang wali hanya merupakan kesunnahan saja, tidak hal yang wajib. Jadi perkawinan yang Saudara tanyakan adalah sah menurut madzhab ini. Akan tetapi yang perlu diperhatikan, dalam etika perkawinan menurut Islam, sudah seharusnya sebuah perkawinan diumumkan secara ramai, agar tidak terjadi hal-hal yang meresahkan masyarakat. Perkawinan dengan sembunyi-sembunyi, kemudian melakukan hubungan layaknya suami-istri tidak dapat dibenarkan. Karena itu, Islam mensyariatkan "walimatul arus", bahkan seseorang yang mendapatkan undangan walimah ini, harus memenuhinya. Demikian, semoga membantu, Wassalam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar