SELAMAT DATANG DI BLOG SAYA,TERIMA KASIH SUDAH BERKUNJUNG...!!!
>

Jumat, 17 September 2010

Membaca Kisah Abah Anom 13 Desember, 2007

Diarsipkan di bawah: Amaliah Ilmiah — icihbogor @ 4:35 am

engan membaca kisah hidup Guru Mursyid kita, Pangersa Abah Anom, mudah-mudahan bisa menambah kecintaan Ikhwan kepada Beliau. Amiin. Tulisan di bawah ini bisa dibaca di : muslimdelft.nl atau kisah.web.id. Kurang afdhol rasanya kalau kita juga ngga baca dari website Suryalaya.

Suryalaya, 26 tahun lalu. Sekelompok pemuda yang amat lemah daya nalarnya, sulit mengerti pembicaraan orang atau ‘telat mikir’. Mereka juga tak punya ingatan yang baik, hanya mampu mengingat selama lima menit kemudian lupa begitu saja, setelah sebelumnya diajarkan huruf-huruf hijaiyah secara intensif.

Mereka adalah korban narkotika. Orang tuanya yang di ambang putus asa, menitipkan mereka secara khusus kepada seorang kiai berusia 58 tahun, yang tetap disebut ‘Kiai Muda’ atau dalam bahasa masyarakat setempat dikenal sebagai ‘Abah Anom’, pengasuh Pesantren Suryalaya.

Beberapa bulan kemudian, setelah mengikuti ritual ala Thariqat Qadiryyah Naqsabandiyyah, mereka tampak normal kembali. Bahkan kemudian mampu hidup mandiri, dengan mendapat pekerjaan yang layak.

Sejak itu berbondong-bondong remaja semodel dengan pendahulunya dititipkan oleh orang tua mereka. Karena tak mungkin menggabungkan mereka dengan para santri yang normal, maka dibuatlah satu pesantren khusus remaja narkoba, Pesantren Inabah namanya.

Di mata Abah, makanan tak halal adalah salah satu sebab hancurnya generasi muda. “Karena barang yang haram kalau dimakan akan membawa dampak negatif, disamping menggelapkan hati,” tegasnya kepada Republika, tiga tahun lalu.

Enam tahun kemudian (1978-1979), Pesantren Inabah berhasil menyelamatkan dua pertiga penghuninya, yang umumnya adalah anak-anak orang ‘berpangkat’. Mulai dari ABRI, pegawai negeri sipil, pengusaha bahkan dari golongan alim ulama. Yang umumnya berasal dari Jakarta.

Sejak itu nama Pesantren Inabah, naik daun sampai sekarang. Setahun kemudian (1980), diadakan lokakarya di pesantren itu yang dihadiri oleh 8 departemen sekaligus. Yang tergabung dalam kerjasama lintas sektoral, yang dibuat khusus untuk menanggulangi kenakalan remaja.

Pesantren Inabah, menjadi fenomena tak hanya di Indonesia bahkan meluas sampai mancanegara. Tapi, siapa Abah Anom, dan apa itu Inabah?

Sufi yang utuh

Ahmad Shohibulwafa Tajul Arifin adalah nama asli Abah Anom. Lahir 1 Januari 1915 di Suryalaya, Tasikmalaya. Ia anak kelima dari Syekh Abdullah Mubarok bin Nur Muhammad, atau Abah Sepuh, pendiri Pesantren Suryalaya. Sebuah pesantren tasawuf yang khusus mengajarkan Thariqat Qadiriyyah Naqsabandiyah (TQN).

Ia memasuki bangku sekolah dasar (Vervooleg school) di Ciamis, pada usia 8 tahun. Lima tahun kemudian melanjutkan ke madrasah tsanawiyah di kota yang sama. Usai tsanawiyah, barulah ia belajar ilmu agama Islam, secara lebih khusus di berbagai pesantren.

Ia keluar masuk berbagai macam pesantren yang ada di sekitar Jawa Barat seperti, Pesantren Cicariang dan Pesantren Jambudwipa di Cianjur untuk ilmu-ilmu alat dan ushuluddin. Sedangkan di Pesantren Cireungas, ia juga belajar ilmu silat. Minatnya untuk belajar silat diperdalam ke Pesantren Citengah yang dipimpin oleh Haji Djunaedi yang terkenal ahli “alat”, jago silat dan ahli hikmat.

Kegemarannya menuntut ilmu, menyebabkan Abah Anom menguasai berbagai macam ilmu keislaman pada usia relatif muda (18 tahun). Didukung dengan ketertarikannya pada dunia pesantren, telah mendorong ayahnya yang dedengkot Thoriqot Qadiriyah Naqsabandiyah (TQN) untuk mengajarinya dzikir TQN. Sehingga ia menjadi wakil talqin ayahnya pada usia relatif muda.

Mungkin sejak itulah, ia lebih di kenal dengan sebutan Abah Anom. Ia resmi menjadi mursyid (pembimbing) TQN di Pesantren tasawuf itu sejak tahun 1950. Sebuah masa yang rawan dengan berbagai kekerasan bersenjata antar berbagai kelompok yang ada di masyarakat, terutama antara DI/TII melawan TNI.

“Tasawuf tidak hanya produk asli Islam, tapi ia telah berhasil mengembalikan umat Islam kepada keaslian agamanya pada kurun-kurun tertentu,” tegas Abah Anom, tentang eksistensi tasawuf dalam ajaran Islam.

Tasawuf yang dipahami Abah Anom, bukanlah kebanyakan tasawuf yang cenderung mengabaikan syari’ah karena mengutamakan dhauq (rasa). Menurutnya, sufi dan pengamal tarekat tidak boleh meninggalkan ilmu syari’ah atau ilmu fiqih. Bahkan, menurutnya lagi, ilmu syari’ah adalah jalan menuju ma’rifat.

Ia, sebagaimana lazimnya sosok sufi, tak ingin terkenal. “Ia amat sulit untuk diwawancarai wartawan, karena beliau tak ingin dikenal orang,” ungkap Ustadz Wahfiudin, mubaligh Jakarta yang menjadi salah seorang muridnya.

Kendati demikian, ia bukanlah sosok sufi yang lari ke hutan-hutan dan gunung-gunung, seperti legenda sufi yang sering mampir ke telinga kita. Yang hidup untuk dirinya sendiri, dan menuding masyarakat sebagai musuh yang menghalangi dirinya dari Allah swt. Ia akrab dengan berbagai medan kehidupan, mulai dari pertanian sampai pertempuran.

Pada tahun 50-60-an kondisi perekonomian rakyat amat mengkhawatirkan. Abah Anom turun sebagai pelopor pemberdayaan ekonomi umat. Ia aktif membangun irigasi untuk mengatur pertanian, juga pembangunan kincir angin untuk pembangkit tenaga listrik.

Bahkan Abah Anom membuat semacam program swasembada beras di kalangan masyarakat Jawa Barat untuk mengantisipasi krisis pangan. Aktivitas ini telah memaksa Menteri Kesejahteraan Rakyat Suprayogi dan Jendral A. H. Nasution untuk berkunjung dan meninjau aktifitas itu di Pesantren Suryalaya.

Medan pertempuran bukanlah wilayah asing bagi Abah Anom. Pada masa-masa perang kemerdekaan, bersama Brig. Jend. Akil bahu-membahu memulihkan keamanan dan ketertiban di wilayahnya. Ketika pemberontakan PKI meletus (1965), ia bersama para santrinya melakukan perlawanan bersenjata.

Bahkan tidak hanya sampai di situ, Abah Anom membuat program “rehabilitasi ruhani” bagi para mantan PKI. Tak heran, jika Abah mendapat berbagai penghargaan dari Jawatan Rohani Islam Kodam VI Siliwangi, Gubernur Jawa Barat dan instansi lainnya.

Medan pendidikan juga tak luput dari ruang aktivitasnya. Mulai dari pendirian Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah ‘Aliyah pada tahun 1977, sampai pendirian Institut Agama Islam Latifah Mubarokiyah pada tahun 1986.

Kiprahnya yang utuh di berbagai bidang kehidupan manusia, ternyata berawal dari pemahamannya tentang makna zuhud. Jika kebanyakan kaum sufi berpendapat zuhud adalah meninggalkan dunia, yang berdampak pada kemunduran umat Islam. Maka menurut pendapat Abah Anom, “Zuhud adalah qasr al-’amal artinya, pendek angan-angan, tidak banyak mengkhayal dan bersikap realistis. Jadi zuhud bukan berarti makan ala kadarnya dan berpakaian compang camping.”

Abah merujuk pada surat An-Nur ayat 37 yaitu, “Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allah dan dari mendirikan shalat, (dari) membayarkan zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati menjadi guncang.”

Jadi, menurut beliau seorang yang zuhud adalah orang yang mampu mengendalikan harta kekayaannya untuk menjadi pelayannya, sedangkan ia sendiri dapat berkhidmat kepada Allah swt semata. Atau seperti dikatakan Syekh Abdul Qadir Jailani, “Dudukkanlah dirimu bersama kehidupan duniawi, sedangkan kalbumu bersama kehidupan akhirat, dan rasamu bersama Rabbmu.”

Inabah

Mengentaskan manusia dari limbah kenistaan bukanlah perkara mudah. Abah Anom memiliki landasan teoritis yang kuat untuk merumuskan metode penyembuhan ruhani, semuanya ada dalam nama pesantren itu sendiri yaitu, Inabah.

Abah Anom menjadikan Inabah tidak hanya sekedar nama bagi pesantrennya, tapi lebih dari itu, ia adalah landasan teoritis untuk membebaskan pasien dari gangguan kejiwaan karena ketergantungan terhadap obat-obat terlarang. Dalam kacamata tasawuf, ia adalah nama sebuah peringkat ruhani (maqam), yang harus dilalui seorang sufi dalam perjalanan ruhani menuju Allah swt.

“..Salah satu hasil dari muraqabatullah adalah al-inabah yang maknanya kembali dari maksiat menuju kepada ketaatan kepada Allah swt. karena merasa malu ‘melihat’ Allah,” jelas Abah yang merujuk pada kitab Taharat Al-Qulub.

Dalam teori inabah, untuk menancapkan iman dalam qalbu, tak ada cara lain kecuali dengan dzikir laa ilaha ilallah, cara ini di kalangan TQN disebut talqin. Demikian juga dalam mesikapi mereka yang dirawat di pesantren Inabah. Mereka harus diberikan ‘pedang’ untuk menghalau musuh-musuh di dalam hati mereka, pedang itu adalah dzikrullah.

Orang-orang yang dirawat di Inabah diperlakukan seperti orang yang terkena penyakit hati, yang terjebak dalam kesulitan, kebingungan dan kesedihan. Mereka telah dilalaikan dan disesatkan setan sehingga tak mampu lagi berdzikir pada-Nya. Ibarat orang yang tak memiliki senjata lagi menghadapi musuh-musuhnya. Walhasil, obat untuk mereka adalah

dzikir.

Shalat adalah salah satu bentuk dzikir. Menurut pandangan Abah Anom, para pasien itu belum dapat shalat karena masih dalam keadaan mabuk (sukara), karena itu langkah awalnya adalah menyadarkan mereka dari keadaan mabuk dengan mandi junub. Apalagi sifat pemabuk adalah ghadab (pemarah), yang merupakan perbuatan syaithan yang terbuat dari api. Obatnya tiada lain kecuali air.

Jadi, selain dzikir dan shalat, untuk menyembuhkan para pasien itu digunakan metode wudlu dan mandi junub. Perpaduan kedua metode itu sampai kini tetap digunakan Abah Anom untuk mengobati para pasiennya dari yang paling ringan sampai yang paling berat, dan cukup berhasil. Buktinya, cabang Inabah tak hanya di Indonesia, di Singapura langsung berdiri sebuah cabang serta Malaysia dua buah cabang. Belum lagi tamu-tamu yang mengalir dari berbagai benua seperti Afrika, Eropa dan Amerika.

Pandangan Islam tentang merayakan Hari Valentine Posted February 23rd, 2010 by roemasa

* Aqidah
* Counseling
* Islam

heart Pertanyaan:

Ulama yang terhormat, assalamu`alaikum

Terima kasih banyak atas layanan hebat yang anda berikan dan usaha yang telah anda lakukan. Bisakah anda memberitahukan saya pandangan Islam tentang Hari Valentine?

Jawaban:

Wa `alaikum salam wa rahmatullahi wa barakatuh.

Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.

Segala puji hanya bagi Allah Swt. dan shalawat serta salam semoga tercurahkan bagi Nabi Muhammad Saw.

Memang Islam adalah agama altruisme (mengutamakan kepentingan orang lain), cinta sejati, kerjasama yang baik dan benar. Kita mohon kepada Allah Swt. agar mengumpulkan kita bersama-sama dalam payung naungan dan ampunan-Nya dan menyatukan kita bersama laksana satu tubuh. Allah Swt. berfirman: (Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.) (Al-Hujurat 49: 10)

Fokus kepada pertanyaan yang diajukan, saya dapat mengatakan bahwa ada beberapa pengungkapan cinta yang secara ajaran agama dapat diterima, sementara itu ada juga yang tidak diterima. Salah satu bentuk cinta yang dapat diterima salah satunya adalah cinta kepada Rasulullah Saw. Itulah yang menjadi sebab mengapa cinta kepada Allah Swt. dan kepada Rasul-Nya harus menjadi prioritas utama atas segala bentuk cinta yang lain.

Islam memang mengenal perayaan yang dapat mendekatkan satu orang dan lainnya, sekaligus menambah variasi dalam kehidupannya. Namun, Islam menentang penyerupaan buta budaya Barat terkait perayaan-perayaan khusus seperti Hari Valentine. Dengan kata lain, merayakan hari spesial seperti Hari Valentine merupakan inovasi atau bid'ah yang tidak memiliki dukungan dari ajaran agama. Setiap bid'ah seperti itu hukumnya haram, begitu menurut Islam. Islam menyuruh seluruh umat Muslim untuk menyayangi satu sama lain sepanjang tahun, dan menguranginya hanya dalam sehari benar-benar tertolak.

Dengan demikian, kita sebagai Muslim, tidak seharusnya mengikuti jejak inovasi seperti itu dan takhayul yang sering kita dengar pada perayaan Hari Valentine. Tidak diragukan lagi banyak praktek-praktek yang tidak sesuai ajaran agama yang terjadi pada hari itu, dan praktek-praktek seperti itu dapat menghalangi masyarakat dari makna cinta sejati dan altruisme yang dampak lebih luasnya dapat terjadi penurunan nilai-nilai moral di masyarakat.

Sumber: www.islamonline.net

Ucapkan shalawat serta salam bagi Rasulullah Saw. dengan Shalawat Ibrahimiyah

* Islam
* Muhammad

muhammad Shalawat Allah kepada Nabi, berarti Allah memberi berkah, penghargaan, dan menempatkan Rasulullah yang mulia disisi-Nya. Kemudian shalawat Malaikat kepada Nabi adalah memberi salam penghormatan atas diangkatnya kemuliaan dan kerasulan Muhammad, sebagaimana penghormatan malaikat kepada Nabi Adam as. serta juga memintakan ampunan untuknya, dan shalawat orang beriman adalah menjadi doa bagi dirinya. Kita diperintahkan berdoa kepada Allah agar Allah mencurahkan lebih banyak kehormatan dan rahmat kepada Rasulullah Saw..

Beberapa dalil menunjukkan bahwa Allah telah mencurahkan rahmat yang tak terhitung jumlahnya kepada Nabi Saw., namun kita masih diperintahkan untuk mencari rahmat Allah untuk Nabi Saw. Ini merupakan ekspresi cinta kita kepada Nabi Muhammad Saw. yang pada gilirannya menjadi indikasi keimanan kita yang dalam kepada Allah.

Nabi Muhammad Saw. bersabda, "Barang siapa membaca satu shalawat kepadaku, Allah akan melantunkan sepuluh shalawat untuknya." (Hadits riwayat Muslim)

Meskipun tidak ada rumusan tertentu tentang shalawat kepada Nabi Muhammad Saw., namun beberapa ulama mengatakan bahwa salah satu ucapan shalawat terbaik adalah seperti disebutkan di dalam Shahih Bukhari, yang dikenal dengan Shalawat Ibrahimiyah:

Allahumma salli ^ala Muhammad, wa ^ala 'Ali Muhammad, kama sallayta ^ala ‘Ibrahim, wa ^ala 'Ali ‘Ibrahim. ‘Innaka Hamidum Majid. Allahumma barik ^ala Muhammad, wa ^ala 'Ali Muhammad, kama barakta ^ala ‘Ibrahim, wa^ala 'Ali ‘Ibrahim. ‘Innaka Hamidum Majid.

“Ya Allah, limpahkanlah shalawat kepada Sayyidina Muhammad dan kepada keluarga Sayyidina Muhammad, sebagaimana engkau melimpahkan shalawat kepada Sayyidina Ibrahim dan kepada keluarga Sayyidina Ibrahim. Sesungguhnya Engkau adalah Maha Terpuji lagi Maha Mulia.
Ya Allah, berkatilah kepada Sayyidina Muhammad dan kepada keluarga Sayyidina Muhammad, sebagaimana Engkau memberkati kepada Sayyidina Ibrahim dan kepada keluarga Sayyidina Ibrahim. Sesungguhnya Engkau adalah Maha Terpuji lagi Maha Mulia.”