SELAMAT DATANG DI BLOG SAYA,TERIMA KASIH SUDAH BERKUNJUNG...!!!
>

Senin, 13 September 2010

Membaca Kisah Abah Anom 13 Desember, 2007

Diarsipkan di bawah: Amaliah Ilmiah — icihbogor @ 4:35 am
engan membaca kisah hidup Guru Mursyid kita, Pangersa Abah Anom, mudah-mudahan bisa menambah kecintaan Ikhwan kepada Beliau. Amiin. Tulisan di bawah ini bisa dibaca di : muslimdelft.nl atau kisah.web.id. Kurang afdhol rasanya kalau kita juga ngga baca dari website Suryalaya.
Suryalaya, 26 tahun lalu. Sekelompok pemuda yang amat lemah daya nalarnya, sulit mengerti pembicaraan orang atau ‘telat mikir’. Mereka juga tak punya ingatan yang baik, hanya mampu mengingat selama lima menit kemudian lupa begitu saja, setelah sebelumnya diajarkan huruf-huruf hijaiyah secara intensif.
Mereka adalah korban narkotika. Orang tuanya yang di ambang putus asa, menitipkan mereka secara khusus kepada seorang kiai berusia 58 tahun, yang tetap disebut ‘Kiai Muda’ atau dalam bahasa masyarakat setempat dikenal sebagai ‘Abah Anom’, pengasuh Pesantren Suryalaya.
Beberapa bulan kemudian, setelah mengikuti ritual ala Thariqat Qadiryyah Naqsabandiyyah, mereka tampak normal kembali. Bahkan kemudian mampu hidup mandiri, dengan mendapat pekerjaan yang layak.
Sejak itu berbondong-bondong remaja semodel dengan pendahulunya dititipkan oleh orang tua mereka. Karena tak mungkin menggabungkan mereka dengan para santri yang normal, maka dibuatlah satu pesantren khusus remaja narkoba, Pesantren Inabah namanya.
Di mata Abah, makanan tak halal adalah salah satu sebab hancurnya generasi muda. “Karena barang yang haram kalau dimakan akan membawa dampak negatif, disamping menggelapkan hati,” tegasnya kepada Republika, tiga tahun lalu.
Enam tahun kemudian (1978-1979), Pesantren Inabah berhasil menyelamatkan dua pertiga penghuninya, yang umumnya adalah anak-anak orang ‘berpangkat’. Mulai dari ABRI, pegawai negeri sipil, pengusaha bahkan dari golongan alim ulama. Yang umumnya berasal dari Jakarta.
Sejak itu nama Pesantren Inabah, naik daun sampai sekarang. Setahun kemudian (1980), diadakan lokakarya di pesantren itu yang dihadiri oleh 8 departemen sekaligus. Yang tergabung dalam kerjasama lintas sektoral, yang dibuat khusus untuk menanggulangi kenakalan remaja.
Pesantren Inabah, menjadi fenomena tak hanya di Indonesia bahkan meluas sampai mancanegara. Tapi, siapa Abah Anom, dan apa itu Inabah?
Sufi yang utuh
Ahmad Shohibulwafa Tajul Arifin adalah nama asli Abah Anom. Lahir 1 Januari 1915 di Suryalaya, Tasikmalaya. Ia anak kelima dari Syekh Abdullah Mubarok bin Nur Muhammad, atau Abah Sepuh, pendiri Pesantren Suryalaya. Sebuah pesantren tasawuf yang khusus mengajarkan Thariqat Qadiriyyah Naqsabandiyah (TQN).
Ia memasuki bangku sekolah dasar (Vervooleg school) di Ciamis, pada usia 8 tahun. Lima tahun kemudian melanjutkan ke madrasah tsanawiyah di kota yang sama. Usai tsanawiyah, barulah ia belajar ilmu agama Islam, secara lebih khusus di berbagai pesantren.
Ia keluar masuk berbagai macam pesantren yang ada di sekitar Jawa Barat seperti, Pesantren Cicariang dan Pesantren Jambudwipa di Cianjur untuk ilmu-ilmu alat dan ushuluddin. Sedangkan di Pesantren Cireungas, ia juga belajar ilmu silat. Minatnya untuk belajar silat diperdalam ke Pesantren Citengah yang dipimpin oleh Haji Djunaedi yang terkenal ahli “alat”, jago silat dan ahli hikmat.
Kegemarannya menuntut ilmu, menyebabkan Abah Anom menguasai berbagai macam ilmu keislaman pada usia relatif muda (18 tahun). Didukung dengan ketertarikannya pada dunia pesantren, telah mendorong ayahnya yang dedengkot Thoriqot Qadiriyah Naqsabandiyah (TQN) untuk mengajarinya dzikir TQN. Sehingga ia menjadi wakil talqin ayahnya pada usia relatif muda.
Mungkin sejak itulah, ia lebih di kenal dengan sebutan Abah Anom. Ia resmi menjadi mursyid (pembimbing) TQN di Pesantren tasawuf itu sejak tahun 1950. Sebuah masa yang rawan dengan berbagai kekerasan bersenjata antar berbagai kelompok yang ada di masyarakat, terutama antara DI/TII melawan TNI.
“Tasawuf tidak hanya produk asli Islam, tapi ia telah berhasil mengembalikan umat Islam kepada keaslian agamanya pada kurun-kurun tertentu,” tegas Abah Anom, tentang eksistensi tasawuf dalam ajaran Islam.
Tasawuf yang dipahami Abah Anom, bukanlah kebanyakan tasawuf yang cenderung mengabaikan syari’ah karena mengutamakan dhauq (rasa). Menurutnya, sufi dan pengamal tarekat tidak boleh meninggalkan ilmu syari’ah atau ilmu fiqih. Bahkan, menurutnya lagi, ilmu syari’ah adalah jalan menuju ma’rifat.
Ia, sebagaimana lazimnya sosok sufi, tak ingin terkenal. “Ia amat sulit untuk diwawancarai wartawan, karena beliau tak ingin dikenal orang,” ungkap Ustadz Wahfiudin, mubaligh Jakarta yang menjadi salah seorang muridnya.
Kendati demikian, ia bukanlah sosok sufi yang lari ke hutan-hutan dan gunung-gunung, seperti legenda sufi yang sering mampir ke telinga kita. Yang hidup untuk dirinya sendiri, dan menuding masyarakat sebagai musuh yang menghalangi dirinya dari Allah swt. Ia akrab dengan berbagai medan kehidupan, mulai dari pertanian sampai pertempuran.
Pada tahun 50-60-an kondisi perekonomian rakyat amat mengkhawatirkan. Abah Anom turun sebagai pelopor pemberdayaan ekonomi umat. Ia aktif membangun irigasi untuk mengatur pertanian, juga pembangunan kincir angin untuk pembangkit tenaga listrik.
Bahkan Abah Anom membuat semacam program swasembada beras di kalangan masyarakat Jawa Barat untuk mengantisipasi krisis pangan. Aktivitas ini telah memaksa Menteri Kesejahteraan Rakyat Suprayogi dan Jendral A. H. Nasution untuk berkunjung dan meninjau aktifitas itu di Pesantren Suryalaya.
Medan pertempuran bukanlah wilayah asing bagi Abah Anom. Pada masa-masa perang kemerdekaan, bersama Brig. Jend. Akil bahu-membahu memulihkan keamanan dan ketertiban di wilayahnya. Ketika pemberontakan PKI meletus (1965), ia bersama para santrinya melakukan perlawanan bersenjata.
Bahkan tidak hanya sampai di situ, Abah Anom membuat program “rehabilitasi ruhani” bagi para mantan PKI. Tak heran, jika Abah mendapat berbagai penghargaan dari Jawatan Rohani Islam Kodam VI Siliwangi, Gubernur Jawa Barat dan instansi lainnya.
Medan pendidikan juga tak luput dari ruang aktivitasnya. Mulai dari pendirian Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah ‘Aliyah pada tahun 1977, sampai pendirian Institut Agama Islam Latifah Mubarokiyah pada tahun 1986.
Kiprahnya yang utuh di berbagai bidang kehidupan manusia, ternyata berawal dari pemahamannya tentang makna zuhud. Jika kebanyakan kaum sufi berpendapat zuhud adalah meninggalkan dunia, yang berdampak pada kemunduran umat Islam. Maka menurut pendapat Abah Anom, “Zuhud adalah qasr al-’amal artinya, pendek angan-angan, tidak banyak mengkhayal dan bersikap realistis. Jadi zuhud bukan berarti makan ala kadarnya dan berpakaian compang camping.
Abah merujuk pada surat An-Nur ayat 37 yaitu, “Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allah dan dari mendirikan shalat, (dari) membayarkan zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati menjadi guncang.”
Jadi, menurut beliau seorang yang zuhud adalah orang yang mampu mengendalikan harta kekayaannya untuk menjadi pelayannya, sedangkan ia sendiri dapat berkhidmat kepada Allah swt semata. Atau seperti dikatakan Syekh Abdul Qadir Jailani, “Dudukkanlah dirimu bersama kehidupan duniawi, sedangkan kalbumu bersama kehidupan akhirat, dan rasamu bersama Rabbmu.”
Inabah
Mengentaskan manusia dari limbah kenistaan bukanlah perkara mudah. Abah Anom memiliki landasan teoritis yang kuat untuk merumuskan metode penyembuhan ruhani, semuanya ada dalam nama pesantren itu sendiri yaitu, Inabah.
Abah Anom menjadikan Inabah tidak hanya sekedar nama bagi pesantrennya, tapi lebih dari itu, ia adalah landasan teoritis untuk membebaskan pasien dari gangguan kejiwaan karena ketergantungan terhadap obat-obat terlarang. Dalam kacamata tasawuf, ia adalah nama sebuah peringkat ruhani (maqam), yang harus dilalui seorang sufi dalam perjalanan ruhani menuju Allah swt.
“..Salah satu hasil dari muraqabatullah adalah al-inabah yang maknanya kembali dari maksiat menuju kepada ketaatan kepada Allah swt. karena merasa malu ‘melihat’ Allah,” jelas Abah yang merujuk pada kitab Taharat Al-Qulub.
Dalam teori inabah, untuk menancapkan iman dalam qalbu, tak ada cara lain kecuali dengan dzikir laa ilaha ilallah, cara ini di kalangan TQN disebut talqin. Demikian juga dalam mesikapi mereka yang dirawat di pesantren Inabah. Mereka harus diberikan ‘pedang’ untuk menghalau musuh-musuh di dalam hati mereka, pedang itu adalah dzikrullah.
Orang-orang yang dirawat di Inabah diperlakukan seperti orang yang terkena penyakit hati, yang terjebak dalam kesulitan, kebingungan dan kesedihan. Mereka telah dilalaikan dan disesatkan setan sehingga tak mampu lagi berdzikir pada-Nya. Ibarat orang yang tak memiliki senjata lagi menghadapi musuh-musuhnya. Walhasil, obat untuk mereka adalah
dzikir.
Shalat adalah salah satu bentuk dzikir. Menurut pandangan Abah Anom, para pasien itu belum dapat shalat karena masih dalam keadaan mabuk (sukara), karena itu langkah awalnya adalah menyadarkan mereka dari keadaan mabuk dengan mandi junub. Apalagi sifat pemabuk adalah ghadab (pemarah), yang merupakan perbuatan syaithan yang terbuat dari api. Obatnya tiada lain kecuali air.
Jadi, selain dzikir dan shalat, untuk menyembuhkan para pasien itu digunakan metode wudlu dan mandi junub. Perpaduan kedua metode itu sampai kini tetap digunakan Abah Anom untuk mengobati para pasiennya dari yang paling ringan sampai yang paling berat, dan cukup berhasil. Buktinya, cabang Inabah tak hanya di Indonesia, di Singapura langsung berdiri sebuah cabang serta Malaysia dua buah cabang. Belum lagi tamu-tamu yang mengalir dari berbagai benua seperti Afrika, Eropa dan Amerika.

Zakat

Fiqhuz-Zakat (2): Zakat Pertanian Cetak E-mail
Ditulis oleh Ustadz Muchib Aman Aly   
Harta Zakat

Ada beberapa pendekatan dalam menentukan macam-macam harta yang wajib dizakati, yakni pendekatan iqor (harta tidak bergerak) dan manqul (harta bergerak). Atau dengan pendekatan alkhorij( zakat dari hasil yang dicapai) dan ro’sul maal(zakat atas modal).Saya menggunakan pendekatan yang kedua yaitu pendekatan alkhorij dan ro’sulmaal.
 
Zakat atas Penghasilan (profesi). Cetak E-mail
Ditulis oleh Ustadz Muchib Aman Aly   

Zakat atas penghasilan atau zakat  profesi adalah istilah yang muncul dewasa ini. Adapun istilah Ulama salaf bagi zakat atas penghasilan atau profesi biasanya di sebut dengan “Almalul mustafad”. Yang termasuk dalam kategori zakat mustafad adalah,  pendapatan yang dihasilkan dari profesi non zakat yang dijalani,  seperti gaji pegawai negeri/swasta, konsultan, dokter, dan lain-lain, atau rezeki yang di hasilkan secara tidak terduga seperti undian, kuis berhadiah (yang tidak mengandung unsur judi), dan lain-lain.
 
Zakat Profesi Cetak E-mail
Ditulis oleh Untung Kasirin   
Di dalam Islam, pada harta yang dimiliki seseorang terdapat hak Allah di sana. Hak ini dikenal dengan istilah zakat yang diperuntukkan bagi delapan golongan sebagaimana dijelaskan di dalam Al-Qur'an surat At-Taubah ayat 60.
 
Zakat dan Pendidikan Cetak E-mail
Ditulis oleh Untung Kasirin*   
Negara kaya raya yang laksana zamrud di katulistiwa dengan perairan luas yang konon bukan lautan tapi merupakan kolam susu dengan tanah yang mahasubur hingga tongkat dan batu jadi tanaman ini telah berusia enam puluh dua tahun dengan enam kali ganti pimpinan. Setengah lebih usianya, yakni selama 32 tahun pernah digawangi oleh sebuah keluarga besar, Keluraga Cendana. Suatu kali, pernah dipimpin bapak dan anak seperti sebuah dinasti. Lalu pada kesempatan lain pernah juga dipimpin oleh ilmuwan jenius alang kepalang, dan pada kali lainnya pernah dipimpin oleh seorang kiai. Beda orang dan kepribadian, beda pula gaya kepemimpinan dan kebijakkannya. Namun dari pengalaman dipimpin oleh bermacam-macam tipe pimpinan, tetap saja menyisakan sebuah titik persamaan realita kehidupan bangsa Indonesia: Anggaran pendidikan sebesar 20 persen yang merupakan amanah Undang-Undang Dasar 1945 belum juga terwujud.
 
Idul Fitri Dan Zakat Fitrah Cetak E-mail
Ditulis oleh Dewan Asatidz   
Oleh : Arwani Syaerozi, Lc *
Dalam Islam kita mengenal beberapa hari kebesaran, dalam satu minggu kita akan bertemu dengan hari Jum`at, sebuah hari raya dalam tarf mingguan. Untuk level tahunan kita pun mengenal Idul fitri dan Idul adha, merupakan dua hari kebesaran level tahunan bagi komunitas muslim se-dunia.
 
URGENSI KEMENTERIAN ZAKAT DAN WAKAF Cetak E-mail
Ditulis oleh Dewan Asatidz   
Menarik sekali jika kita cermati pembahasan Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang tentang Kementerian Negara—atau yang lebih dikenal dengan sebutan Pansus RUU Kementerian Negara DPR RI—beberapa waktu lalu, dimana telah disepakati sejumlah pos kementerian negara, baik yang bersifat portofolio maupun non portofolio. Secara keseluruhan, Pansus telah membahas 31 kementerian negara, mencakup 21 kementerian negara portofolio dan 10 kementerian negara non portofolio.
 
Pembagian Zakat Cetak E-mail
Ditulis oleh Dewan Asatidz   
Berdasarkan penjelasan tersebut, maka wajib bagi para Muslim untuk berpegang teguh pada aturan yang telah dijelaskan dalam ayat al-Qur'ân di atas ketika membayarkan zakat, jika tidak, maka belum dianggap sah zakat yang dikeluarkannya. Berikut ini akan kami sampaikan kaidah-kaidah/aturan-aturan yang harus diikuti dalam pembayaran zakat.
 
«MulaiSebelumnya12345BerikutnyaAkhir»

JPAGE_CURRENT_OF_TOTAL

Hikmah

Membersihkan Kalbu Cetak E-mail
Ditulis oleh Ustadz Agus Handoko, MA   

Manusia sering kali melakukan sesuatu atas dasar hawa nafsunya yang mengakibatkan perbuatan tersebut berdampak negative ditengah-tengah masyarakat. Untuk menghindari penyesalan diakhir perbuatan yang akan dilakukan, maka seyogyanya bertanyalah pada hati kecil, baik dan buruknya perbuatan tersebut. Oleh karena itu setiap manusia dituntut untuk memahami hatinya atau bahasa lain adalah "Qolbu".
 
Mengapa Rasulullah SAW Tersenyum Cetak E-mail
Ditulis oleh Agung Kusuma, BIFB (Hons)   
Rasulullah SAW adalah contoh pribadi yang agung, pribadi yang mulia. Beliau diutus sebagai rahmatan lil’alamin, rahmat bagi semesta alam. Beliau adalah penutup para Nabi dan contoh bagi semua manusia.
Hal yang menarik adalah kenapa Rasulullah selalu tersenyum, walaupun beliau dihina dan dicaci maki oleh kaumnya, bahkan ingin dicelakakan oleh sebagian orang. Artikel ini akan membahas panjang lebar tentang hal menarik ini.
 
Para Nabi Pun Berdoa Cetak E-mail
Ditulis oleh Ustadz Nur Rohim Yunus, Lc   
Bertaqwalah kepada Allah Swt, taqwa dalam arti memelihara diri dari segala bentuk kemusyrikan dan kemunafikan, yakni dengan menta’ati dan mengerjakan semua perintah dan meninggalkan larangan-larangan-Nya. Juga taqwa yang dapat menumbuhkan amal-amal saleh yang nyata sebagai pembuktian kebenaran iman, sebab segala perbuatan dan amal manusia, baik atau jahatnya pencerminan imannya terhadap Allah Swt.
 
Muhasabah Diri Menggapai Masa Depan Cetak E-mail
Ditulis oleh Ustadz Agus Handoko,S.Th.I   
Di akhir tahun 2008 Masehi dan tahun 1429 Hijriyah, ada baiknya kita mengevaluasi apa yang telah kita lakukan dan persiapan untuk menggapai masa depan yang lebih baik, hal tersebut diisyaratkan oleh Allah Swt. Dalam firmannya surat al-Hasyr : (59 : 18)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
“Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kamu sekalian kepada Allah, dan hendaklah setiap diri, mengevaluasi kembali apa yang telah dilakukan untuk menata hari esok. Dan bertakwalah kamu sekalian kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kalian kerjakan”.
 
Memahami Makna Idul Adha Cetak E-mail
Ditulis oleh Yusuf Fatawie*   
Bulan ini merupakan bulan bersejarah bagi umat Islam. Pasalnya, di bulan ini kaum muslimin dari berbagai belahan dunia melaksanakan rukun Islam yang kelima. Ibadah haji adalah ritual ibadah yang mengajarkan persamaan di antara sesama. Dengannya, Islam tampak sebagai agama yang tidak mengenal status sosial. Kaya, miskin, pejabat, rakyat, kulit hitam ataupun kulit putih semua memakai pakaian yang sama. Bersama-sama melakukan aktivitas yang sama pula yakni manasik haji.
 
Tiga kebahagiaan menyambut Idul fitri Cetak E-mail
Ditulis oleh Arwani Syaerozi*   
Tidak terasa satu bulan penuh kita telah menjalankan ibadah puasa Ramadhan, satu bulan kita telah berhasil menahan lapar dan dahaga dari terbitnya fajar hingga terbenam matahari. Di saat bulan penuh berkah, rahmat dan ampunan itu telah pergi, hari ini kita dipertemukan dalam momen kegembiraan, yaitu hari raya idul fitri. Kalau kita artikan secara tekstual, bermakna "hari berbuka" atau "hari kembali kepada fitrah", fase kehidupan manusia yang dianggap suci, bersih dan terbebas dari segala dosa.
 
Konsep Kebahagiaan Dalam Islam Cetak E-mail
Ditulis oleh Ustadz Abdul Latief   
Kondisi senantiasa bahagia dalam situasi apa pun, inilah. yang senantiasa dikejar oleh manusia. Manusia ingin hidup bahagia. Hidup tenang, tenteram, damai, dan sejahtera. Sebagian orang mengejar kebahagiaan dengan bekerja keras untuk menghimpun harta. Dia menyangka bahwa pada harta yang berlimpah itu terdapat kebahagaiaan.
 
«MulaiSebelumnya12345BerikutnyaAkhir»

JPAGE_CURRENT_OF_TOTAL

Nikah Mit'ah dan Kawin Kontrak


Cetak E-mail
Ditulis oleh Dewan Asatidz   
----- Tanya ----- Assalamu'alaikum wr. wb. 1. Bagaimana hukumnya nikah mut'ah? 2. Saya tidak tahu ini benar atau tidak, tetapi beberapa tahun yang lalu ada kasus populer mengenai perkawinan (sesaat?) yang dilakukan di hotel tanpa wali (karena si wanita janda?) tapi ada saksi. Kasus itu sempat menimbulkan pro-kontra, namun berakhir begitu saja. Mohon penjelasan Bapak terhadap hal semacam ini. Terima kasih Wassalam Bali ------ Jawab: ------ Wa'alaikum salam 1. Perdebatan soal kawin mut'ah antara Sunni dan Syiah telah banyak diketahui oleh khalayak. Sunni mengatakan, kawin mutah telah dilarang oleh Nabi Muhammad saw pada berbagai kesempatan. Dan menurut Syiah, Nabi juga pernah memperbolehkannya dalam berbagai kesempatan. Yang telah menjadi kesepakatan sejarah, Umar bin Khatthab ra. saat menjabat Khalifah telah melarangnya. Menurut sebuah penelitian, sebetulnya mutah di Iran sendiri tidak populer, kasus perkawinan tipe ini tak banyak dilakukan. Namun penelitian ini agak meragukan, karena biasanya kawin mutah dilakukan dengan cara sembunyi-sembunyi, sehingga agak susah dijangkau oleh pengamatan sepintas. Syahla Hairi, antropolog wanita Iran keturunan kaum agamawan, akhirnya meneliti kembali fenomena perkawainan mut'ah. Kedekatannya dengan kaum agamawan Iran memungkinkannya meneliti kembali dengan lebih dekat. Menurutnya, perkawinan model ini cukup populer justru di tengah-tengah komunitas agamawan sendiri. Dan pada kenyataannya, kaum perempuan telah banyak menjadi korbannya, terutama mereka yang berada dalam jurang kemiskinan. Sementara keluarga kelas menengah dan kelas atas tidak pernah rela melepaskan putri-putrinya melangsungkan perkawinan model demikian ini. Para ulama kita telah melakukan hal yang benar dengan mengeluarkan fatwa keharaman model perkawina ini. 2. Menurut madzhab Hanafiyah, seorang perempuan diperbolehkan mengawinkan dirinya sendiri tanpa membutuhkan wali. Menurut madzhab ini, kehadiran seorang wali hanya merupakan kesunnahan saja, tidak hal yang wajib. Jadi perkawinan yang Saudara tanyakan adalah sah menurut madzhab ini. Akan tetapi yang perlu diperhatikan, dalam etika perkawinan menurut Islam, sudah seharusnya sebuah perkawinan diumumkan secara ramai, agar tidak terjadi hal-hal yang meresahkan masyarakat. Perkawinan dengan sembunyi-sembunyi, kemudian melakukan hubungan layaknya suami-istri tidak dapat dibenarkan. Karena itu, Islam mensyariatkan "walimatul arus", bahkan seseorang yang mendapatkan undangan walimah ini, harus memenuhinya. Demikian, semoga membantu, Wassalam
Hukum Suami Murtad Cetak E-mail
Ditulis oleh Dewan Asatidz   
----- Tanya ----- Assalaamu'alaikum wr.wb Ma'af, berulang kali saya bertanya kepada PV, karena memang di tempat kami sangat begitu komplek permasalahan dikarenakan masyarakat yang begitu plural (dari segi SARA), sementara di satu, aktivis-aktivis dakwah baik secara quality (kapasitas pengetahuan agama) dan quantity sangat minim Kemarin ada lagi kasus dari salah seorang ibu anggota pengajian kami. Dia (orang Jawa-Islam) menikah, bersuamikan seorang mu'alaf. Nach, telah sekitar 1 tahun ini suami tersebut menunjukkan tanda-tanda kembali ke agama aslinya (Nasrani), terlihat dengan sudah tidak sholat dan tiap hari minggu pergi ke kebaktian/misa di gereja. Yang saya tanyakan : 1. Secara fikih, apakah suami ibu tersebut memang telah murtad. Saya masih menanyakan ini karena kata ibu tsb. suaminya belum secara "lisan" menyatakan kemurtadannya ? 2. Kalaupun memang telah dianggap murtad, berarti status ibu tersebut pada waktu berhubungan (jima') dengan suaminya adalah zina ? APakah sampai batas ini saja Islam memvonisnya ? Maksud saya, masalah ini sangat komplek. Karena merekapun juga punya anak. Dan ibu tersebut beralasan pada keinginan untuk tetap mempertahankan akidah anaknya, diapun mengatakan biarpun dituduh berzina, yang penting anaknya tetap terselamatkan akidahnya. 3. Sehingga, sayapun bertanya kepada PV, apakah tidak ada formula penyelesaikan dengan pertimbangan aspek moral, sosial selain aspek fikih yang seringkali sangat kaku. Mohon diberikan penjelasan yang semoga dapat mencerahkan hati ibu tsb. Demikian pertanyaan dari saya. Wassalaamu'alaikum wr.wb Fatkhur Rohman, S.Sos Sanggau-Kalimantan Barat ===== Jawab : ===== Assalaamu'alaikum wr.wb Saudara yang budiman, Yang pertama yang perlu dilakukan adalah tabayyun [permintaan penjelasan secara terbuka] dulu di antara pasangan suami istri tersebut. Ini penting sekali karena persoalan perpindahan agama bukanlah persoalan yang remeh. Bentuk tabayyun itu dilakukan, dan harus, secara baik-baik, terbuka, setidaknya di antara pasangan suami istri itu. Jika yang bermasalah adalah sang suami, berarti usahakan si istri pro-aktif untuk mengupayakan penjelasan dari sang suami. Kira-kira, inti permasalahan yang perlu ditanyakan dari pihak istri adalah, misalnya, : apakah Anda masih muslim sebagaimana yang dulu anda katakan kepada saya saat menikah? Ini untuk mencari pengakuan secara lisan. Sebab, pengakuan secara lisan itulah yang menjadi dasar hukum fikih. Fikih tidak membicarakan hal-hal yang berada di luar lisan, atau, misalnya, di dalam hati. Hati adalah urusan Allah SWT. Kita tentu ingat hadits Nabi yang menyatakan bahwa beliau tidak diperintah untuk membelah dada manusia. Pertanyaan demikian memang remeh dan simpel, tetapi yang paling ringan untuk meminta penjelasan dari suami. Jika memang masih mengatakan Islam, tetapi masih ketahuan sering ikut kebaktian di gereja, itu persoalan lain, yang tentu membutuhkan proses penyelesaian yang lain pula. [Bisa kita perbincangkan di lain kesempatan, melihat perkembangan pasangan itu]. Namun, jika jawaban dari sang suami adalah : telah kembali ke agama Kristen, maka ada konsekuensi dari pihak istri, yaitu ; Memisahkan diri dari sang suami. Karena perbedaan agama itu dengan sendiri memisahkan kedua pasangan. Para ulama sepakat mengatakan seorang muslimah tidak boleh menjadi isteri seorang lelaki non muslim. Hukum ini didasarkan kepada dalil-dalil sbb : 1. Ayat surah al-Mumtahanah : 10 :"Hai orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. ALlah lebih mengetahui tentang keimanan mereka: maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman, janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tidak halal bagi orang-orang kafir dan orang-orang kafir itu tidak halal pula bagi mereka (muslimah). Dan berikanlah kepada (suami) mereka mahar yang telah mereka bayar. Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di antara kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. 2. Ayat surah al-Baqarah : 221 : "Dan janganlah kamu meikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mu'min) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mu'min lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka sedangkan Allah mengajak ke sorga da ampunan dengan izin-Nya. 3. Meskipun ayat-ayat tersebut berbicara dalam konteks orang musyrik, namun karena alasan pelarangan yang cukup jelas, yaitu meraka akan mengajak ke naraka, maka ini menunjukkan berlaku pada semua non muslim. 4. Dalam kondisi muslimah menjadi isteri non muslim, dikhawatirkan akan menyebabkan muslimah meninggalkan agamanya, atau paling tidak menyebabkannya tidak bisa mengamalkan agamanya, karena kebanyak pernikahan sarat dengan nilai agama, dan kecenderungan perempuan mengikuti suaminya. Demikian juga, jelas bahwa pernikahan muslimah dengan Nasrani tidak sah menurut pandangan hukum Islam, meskipun mempunyai konsekwensi hukum dalam masalah warisan. Ini yang pertama, berhubungan dengan pertanyaan Anda nomor 1. Untuk pertanyaan nomor 2, masih ada hubungannya dengan jawaban nomor satu. Yaitu, selama belum ada pengakuan secara lisan dari pihak suami bahwa dia telah kembali ke agama Kristen, maka yang dilakukan antara keduanya sah, dan bukan merupakan zina. Maka, kembali kepada persoalan, yang paling penting adalah mencari pengakuan sang suami, apakah masih sebagai muslim? Apakah masih bersaksi bahwa "Tidak ada tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah utusan Allah SWT"?. Jika hal ini beres, maka bereslah urusan aqidah / teologi. Selanjutnya, kedua pasangan baru berbicara fikih. Demikian, maaf jika kurang memuaskan. Wallahu A'lam. Wassalam

Hukum Suami Murtad


Cetak E-mail
Ditulis oleh Dewan Asatidz   
----- Tanya ----- Assalaamu'alaikum wr.wb Ma'af, berulang kali saya bertanya kepada PV, karena memang di tempat kami sangat begitu komplek permasalahan dikarenakan masyarakat yang begitu plural (dari segi SARA), sementara di satu, aktivis-aktivis dakwah baik secara quality (kapasitas pengetahuan agama) dan quantity sangat minim Kemarin ada lagi kasus dari salah seorang ibu anggota pengajian kami. Dia (orang Jawa-Islam) menikah, bersuamikan seorang mu'alaf. Nach, telah sekitar 1 tahun ini suami tersebut menunjukkan tanda-tanda kembali ke agama aslinya (Nasrani), terlihat dengan sudah tidak sholat dan tiap hari minggu pergi ke kebaktian/misa di gereja. Yang saya tanyakan : 1. Secara fikih, apakah suami ibu tersebut memang telah murtad. Saya masih menanyakan ini karena kata ibu tsb. suaminya belum secara "lisan" menyatakan kemurtadannya ? 2. Kalaupun memang telah dianggap murtad, berarti status ibu tersebut pada waktu berhubungan (jima') dengan suaminya adalah zina ? APakah sampai batas ini saja Islam memvonisnya ? Maksud saya, masalah ini sangat komplek. Karena merekapun juga punya anak. Dan ibu tersebut beralasan pada keinginan untuk tetap mempertahankan akidah anaknya, diapun mengatakan biarpun dituduh berzina, yang penting anaknya tetap terselamatkan akidahnya. 3. Sehingga, sayapun bertanya kepada PV, apakah tidak ada formula penyelesaikan dengan pertimbangan aspek moral, sosial selain aspek fikih yang seringkali sangat kaku. Mohon diberikan penjelasan yang semoga dapat mencerahkan hati ibu tsb. Demikian pertanyaan dari saya. Wassalaamu'alaikum wr.wb Fatkhur Rohman, S.Sos Sanggau-Kalimantan Barat ===== Jawab : ===== Assalaamu'alaikum wr.wb Saudara yang budiman, Yang pertama yang perlu dilakukan adalah tabayyun [permintaan penjelasan secara terbuka] dulu di antara pasangan suami istri tersebut. Ini penting sekali karena persoalan perpindahan agama bukanlah persoalan yang remeh. Bentuk tabayyun itu dilakukan, dan harus, secara baik-baik, terbuka, setidaknya di antara pasangan suami istri itu. Jika yang bermasalah adalah sang suami, berarti usahakan si istri pro-aktif untuk mengupayakan penjelasan dari sang suami. Kira-kira, inti permasalahan yang perlu ditanyakan dari pihak istri adalah, misalnya, : apakah Anda masih muslim sebagaimana yang dulu anda katakan kepada saya saat menikah? Ini untuk mencari pengakuan secara lisan. Sebab, pengakuan secara lisan itulah yang menjadi dasar hukum fikih. Fikih tidak membicarakan hal-hal yang berada di luar lisan, atau, misalnya, di dalam hati. Hati adalah urusan Allah SWT. Kita tentu ingat hadits Nabi yang menyatakan bahwa beliau tidak diperintah untuk membelah dada manusia. Pertanyaan demikian memang remeh dan simpel, tetapi yang paling ringan untuk meminta penjelasan dari suami. Jika memang masih mengatakan Islam, tetapi masih ketahuan sering ikut kebaktian di gereja, itu persoalan lain, yang tentu membutuhkan proses penyelesaian yang lain pula. [Bisa kita perbincangkan di lain kesempatan, melihat perkembangan pasangan itu]. Namun, jika jawaban dari sang suami adalah : telah kembali ke agama Kristen, maka ada konsekuensi dari pihak istri, yaitu ; Memisahkan diri dari sang suami. Karena perbedaan agama itu dengan sendiri memisahkan kedua pasangan. Para ulama sepakat mengatakan seorang muslimah tidak boleh menjadi isteri seorang lelaki non muslim. Hukum ini didasarkan kepada dalil-dalil sbb : 1. Ayat surah al-Mumtahanah : 10 :"Hai orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. ALlah lebih mengetahui tentang keimanan mereka: maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman, janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tidak halal bagi orang-orang kafir dan orang-orang kafir itu tidak halal pula bagi mereka (muslimah). Dan berikanlah kepada (suami) mereka mahar yang telah mereka bayar. Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di antara kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. 2. Ayat surah al-Baqarah : 221 : "Dan janganlah kamu meikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mu'min) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mu'min lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka sedangkan Allah mengajak ke sorga da ampunan dengan izin-Nya. 3. Meskipun ayat-ayat tersebut berbicara dalam konteks orang musyrik, namun karena alasan pelarangan yang cukup jelas, yaitu meraka akan mengajak ke naraka, maka ini menunjukkan berlaku pada semua non muslim. 4. Dalam kondisi muslimah menjadi isteri non muslim, dikhawatirkan akan menyebabkan muslimah meninggalkan agamanya, atau paling tidak menyebabkannya tidak bisa mengamalkan agamanya, karena kebanyak pernikahan sarat dengan nilai agama, dan kecenderungan perempuan mengikuti suaminya. Demikian juga, jelas bahwa pernikahan muslimah dengan Nasrani tidak sah menurut pandangan hukum Islam, meskipun mempunyai konsekwensi hukum dalam masalah warisan. Ini yang pertama, berhubungan dengan pertanyaan Anda nomor 1. Untuk pertanyaan nomor 2, masih ada hubungannya dengan jawaban nomor satu. Yaitu, selama belum ada pengakuan secara lisan dari pihak suami bahwa dia telah kembali ke agama Kristen, maka yang dilakukan antara keduanya sah, dan bukan merupakan zina. Maka, kembali kepada persoalan, yang paling penting adalah mencari pengakuan sang suami, apakah masih sebagai muslim? Apakah masih bersaksi bahwa "Tidak ada tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah utusan Allah SWT"?. Jika hal ini beres, maka bereslah urusan aqidah / teologi. Selanjutnya, kedua pasangan baru berbicara fikih. Demikian, maaf jika kurang memuaskan. Wallahu A'lam. Wassalam

Wali Allah Shalat di Makkah?


Cetak E-mail
Ditulis oleh Dewan Asatidz   
----- Tanya ----- Assalamu'alaikum wr. wb. Apakah dibenarkan sholat secara bathiniah saja/ spiritual saja atau sebagaimana kisah para wali Allah, yang katanya dapat sholat dimekah, padahal fisiknya ada di tanah jawa. terima kasih, wassalam ===== Jawab : ===== Assaslamualaikum war. wab. Saudara Andrew yang dimuliakan oleh Allah SWT, Pertanyaan yang anda ajukan sering menjadi pertanyaan masyarakat, khususnya di wilayah komunitas tertentu. Perihal semacam ini, sebaiknya kita tidak usah terlalu memperhatikannya. Dan hendaknya kita serahkan semuanya kepada Allah SWT. Bagi saya pribadi, peristiwa-peristiwa atau pengakuan-pengakuan telah melakukan shalat di Makkah, misalnya, dan fisiknya masih di tanah Jawa, kalaupun benar --dan semuanya Wallahu A'lam-- adalah peristiwa atau kasus pribadi yang tidak bisa dilogikakan kepada masyarakat luar. Dalam keilmuan tertentu, hal demikian disebut peristiwa spiritual. Tentu hal semacam ini sering terjadi di antara kita sendiri. Hanya saja, selain kita tidak merasakan itu, peristiwa yang --barangkali-- kita alami juga tidak se-"heboh" cerita yang anda tanyakan. Seperti misalnya sebuah firasat-firasat tertentu. Firasat apapun, yang mengenai seseorang, pastilah tidak bisa ditafsirkan secara matematis. Bahkan seseorang pun yang tidak sedang memiliki firasat juga terkadang akan kesulitan untuk menterjemahkan atau sekedar merasakan. Dan biasanya, untuk sekedar menghibur seseorang yang sedang merasakan sebuah firasat, orang lain cukup mengatakan, berhati-hatilah. Tidak lebih dari itu. Itulah yang saya sebut sebagai suatu peristiwa spiritual. Jadi, kiranya anda tidak perlu menghiraukan pengakuan-pengakuan orang yang merasa telah melakukan sesuatu. Tetapi anda juga tidak perlu meremehkan atau bahkan mencemoohnya sebagai hal yang tidak masuk akan. Tentunya, kita kembalikan semuanya kepada Allah SWT. Demikian, semoga membantu. Wassalam.

Syariat Islam

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Langsung ke: navigasi, cari
Artikel ini adalah bagian dari seri Islam
Allah-eser-green.png
Rasul

Nabi Muhammad SAW
.
Kitab Suci

Al-Qur'an
.
Rukun Islam
1. Syahadat · 2. Salat · 3. Puasa
4. Zakat · 5. Haji
Rukun Iman
Iman kepada : 1. Allah
2. Al-Qur'an · 3. Nabi ·4. Malaikat
5. Hari Akhir · 6. Qada & Qadar
Tokoh Islam
Muhammad SAW
Nabi & Rasul · Sahabat
Ahlul Bait
Kota Suci
Mekkah · & · Madinah
Kota suci lainnya
Yerusalem · Najaf · Karbala
Kufah · Kazimain
Mashhad ·Istanbul · Ghadir Khum
Hari Raya
Idul Fitri · & · Idul Adha
Hari besar lainnya
Isra dan Mi'raj · Maulid Nabi
Asyura
Arsitektur
Masjid ·Menara ·Mihrab
Ka'bah · Arsitektur Islam
Jabatan Fungsional
Khalifah ·Ulama ·Muadzin
Imam·Mullah·Ayatullah · Mufti
Hukum Islam
Al-Qur'an ·Hadist
Sunnah · Fiqih · Fatwa
Syariat · Ijtihad
Manhaj
Salafush Shalih
Mazhab
1. Sunni :
Hanafi ·Hambali
Maliki ·Syafi'i
2. Syi'ah :
Dua Belas Imam
Ismailiyah·Zaidiyah
3. Lain-lain :
Ibadi · Khawarij
Murji'ah·Mu'taziliyah
Lihat Pula
Portal Islam
Indeks mengenai Islam
Syariat Islam adalah ajaran Islam yang membicarakan amal manusia baik sebagai makluk ciptaan Allah maupun hamba Allah.
Terkait dengan susunan tertib Syari'at, Al Quran Surat Al Ahzab ayat 36 mengajarkan bahwa sekiranya Allah dan RasulNya sudah memutuskan suatu perkara, maka umat Islam tidak diperkenankan mengambil ketentuan lain. Oleh sebab itu secara implisit dapat dipahami bahwa jika terdapat suatu perkara yang Allah dan RasulNya belum menetapkan ketentuannya maka umat Islam dapat menentukan sendiri ketetapannya itu. Pemahaman makna ini didukung oleh ayat dalam Surat Al Maidah QS 5:101 yang menyatakan bahwa hal-hal yang tidak dijelaskan ketentuannya sudah dimaafkan Allah.
Dengan demikian perkara yang dihadapi umat Islam dalam menjalani hidup beribadahnya kepada Allah itu dapat disederhanakan dalam dua kategori, yaitu apa yang disebut sebagai perkara yang termasuk dalam kategori Asas Syara' dan perkara yang masuk dalam kategori Furu' Syara'.
  • Asas Syara'
Yaitu perkara yang sudah ada dan jelas ketentuannya dalam Al Quran atau Al Hadits. Kedudukannya sebagai Pokok Syari'at Islam dimana Al Quran itu Asas Pertama Syara' dan Al Hadits itu Asas Kedua Syara'. Sifatnya, pada dasarnya mengikat umat Islam seluruh dunia dimanapun berada, sejak kerasulan Nabi Muhammad saw hingga akhir zaman, kecuali dalam keadaan darurat.
Keadaan darurat dalam istilah agama Islam diartikan sebagai suatu keadaan yang memungkinkan umat Islam tidak mentaati syari'at Islam, ialah keadaan yang terpaksa atau dalam keadaan yang membahayakan diri secara lahir dan batin, dan keadaan tersebut tidak diduga sebelumnya atau tidak diinginkan sebelumnya, demikian pula dalam memanfaatkan keadaan tersebut tidak berlebihan. Jika keadaan darurat itu berakhir maka segera kembali kepada ketentuan syari'at yang berlaku.
  • Furu' Syara'
Yaitu perkara yang tidak ada atau tidak jelas ketentuannya dalam Al Quran dan Al Hadist. Kedudukannya sebaga Cabang Syari'at Islam. Sifatnya pada dasarnya tidak mengikat seluruh umat Islam di dunia kecuali diterima Ulil Amri setempat menerima sebagai peraturan / perundangan yang berlaku dalam wilayah kekuasaanya.
Perkara atau masalah yang masuk dalam furu' syara' ini juga disebut sebagai perkara ijtihadiyah.

Daftar isi

[sembunyikan]

[sunting] Sumber Hukum Islam

[sunting] Al-Qur'an

Al-Qur'an sebagai kitab suci umat Islam adalah firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW untuk disampaikan kepada seluruh umat manusia hingga akhir zaman (Saba' QS 34:28). Sebagai sumber Ajaran Islam juga disebut sumber pertama atau Asas Pertama Syara'.
Al-Quran merupakan kitab suci terakhir yang turun dari serangkaian kitab suci lainnya yang pernah diturunkan ke dunia
Dalam upaya memahami isi Al Quran dari waktu ke waktu telah berkembang tafsiran tentang isi-isi Al-Qur'an namun tidak ada yang saling bertentangan.

[sunting] Al Hadist

[sunting] Ijtihad

Ijtihad adalah sebuah usaha untuk menetapkan hukum Islam berdasarkan Al-Qur'an dan Hadis. Ijtihad dilakukan setelah Nabi Muhammad telah wafat sehingga tidak bisa langsung menanyakan pada beliau tentang suatu hukum namun hal-hal ibadah tidak bisa diijtihadkan. Beberapa macam ijtihad antara lain
  • Ijma', kesepakatan para ulama
  • Qiyas, diumpamakan dengan suatu hal yang mirip dan sudah jelas hukumnya
  • Maslahah Mursalah, untuk kemaslahatan umat
  • 'Urf, kebiasaan

[sunting] Lihat pula

Etika

  Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Langsung ke: navigasi, cari
Filosofi
Philbar.png
Portal   l  b  s 
Etika (Yunani Kuno: "ethikos", berarti "timbul dari kebiasaan") adalah cabang utama filsafat yang mempelajari nilai atau kualitas yang menjadi studi mengenai standar dan penilaian moral.[rujukan?] Etika mencakup analisis dan penerapan konsep seperti benar, salah, baik, buruk, dan tanggung jawab.[rujukan?]
Etika dimulai bila manusia merefleksikan unsur-unsur etis dalam pendapat-pendapat spontan kita.[rujukan?] Kebutuhan akan refleksi itu akan kita rasakan, antara lain karena pendapat etis kita tidak jarang berbeda dengan pendapat orang lain.[1] Untuk itulah diperlukan etika, yaitu untuk mencari tahu apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia.[rujukan?]
Secara metodologi tidak setiap hal menilai perbuatan dapat dikatakan sebagai etika.[rujukan?] Etika memerlukan sikap kritis, metodis, dan sistematis dalam melakukan refleksi.[rujukan?] Karena itulah etika merupakan suatu ilmu. Sebagai suatu ilmu, objek dari etika adalah tingkah laku manusia.[rujukan?] Akan tetapi berbeda dengan ilmu-ilmu lain yang meneliti juga tingkah laku manusia, etika memiliki sudut pandang normatif. Maksudnya etika melihat dari sudut baik dan buruk terhadap perbuatan manusia.[2]
Etika terbagi menjadi tiga bagian utama: meta-etika (studi konsep etika), etika normatif (studi penentuan nilai etika), dan etika terapan (studi penggunaan nilai-nilai etika).[rujukan?]

Daftar isi

[sembunyikan]

[sunting] Jenis Etika

[sunting] Etika Filosofis

Etika filosofis secara harfiah dapat dikatakan sebagai etika yang berasal dari kegiatan berfilsafat atau berpikir, yang dilakukan oleh manusia. Karena itu, etika sebenarnya adalah bagian dari filsafat; etika lahir dari filsafat.[rujukan?]
Etika termasuk dalam filsafat, karena itu berbicara etika tidak dapat dilepaskan dari filsafat.[rujukan?] Karena itu, bila ingin mengetahui unsur-unsur etika maka kita harus bertanya juga mengenai unsur-unsur filsafat. Berikut akan dijelaskan dua sifat etika:[3]
1. Non-empiris[rujukan?] Filsafat digolongkan sebagai ilmu non-empiris. Ilmu empiris adalah ilmu yang didasarkan pada fakta atau yang kongkret. Namun filsafat tidaklah demikian, filsafat berusaha melampaui yang kongkret dengan seolah-olah menanyakan apa di balik gejala-gejala kongkret. Demikian pula dengan etika. Etika tidak hanya berhenti pada apa yang kongkret yang secara faktual dilakukan, tetapi bertanya tentang apa yang seharusnya dilakukan atau tidak boleh dilakukan.
2. Praktis[rujukan?] Cabang-cabang filsafat berbicara mengenai sesuatu “yang ada”. Misalnya filsafat hukun mempelajari apa itu hukum. Akan tetapi etika tidak terbatas pada itu, melainkan bertanya tentang “apa yang harus dilakukan”. Dengan demikian etika sebagai cabang filsafat bersifat praktis karena langsung berhubungan dengan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan manusia. Tetapi ingat bahwa etika bukan praktis dalam arti menyajikan resep-resep siap pakai. Etika tidak bersifat teknis melainkan reflektif. Maksudnya etika hanya menganalisis tema-tema pokok seperti hati nurani, kebebasan, hak dan kewajiban, dsb, sambil melihat teori-teori etika masa lalu untuk menyelidiki kekuatan dan kelemahannya. Diharapakan kita mampu menyusun sendiri argumentasi yang tahan uji.

[sunting] Etika Teologis

Ada dua hal yang perlu diingat berkaitan dengan etika teologis. Pertama, etika teologis bukan hanya milik agama tertentu, melainkan setiap agama dapat memiliki etika teologisnya masing-masing.[rujukan?] Kedua, etika teologis merupakan bagian dari etika secara umum, karena itu banyak unsur-unsur di dalamnya yang terdapat dalam etika secara umum, dan dapat dimengerti setelah memahami etika secara umum.[4]
Secara umum, etika teologis dapat didefinisikan sebagai etika yang bertitik tolak dari presuposisi-presuposisi teologis.[5] Definisi tersebut menjadi kriteria pembeda antara etika filosofis dan etika teologis.[rujukan?] Di dalam etika Kristen, misalnya, etika teologis adalah etika yang bertitik tolak dari presuposisi-presuposisi tentang Allah atau Yang Ilahi, serta memandang kesusilaan bersumber dari dalam kepercayaan terhadap Allah atau Yang Ilahi.[rujukan?] Karena itu, etika teologis disebut juga oleh Jongeneel sebagai etika transenden dan etika teosentris.[6] Etika teologis Kristen memiliki objek yang sama dengan etika secara umum, yaitu tingkah laku manusia.[rujukan?] Akan tetapi, tujuan yang hendak dicapainya sedikit berbeda, yaitu mencari apa yang seharusnya dilakukan manusia, dalam hal baik atau buruk, sesuai dengan kehendak Allah.[7]
Setiap agama dapat memiliki etika teologisnya yang unik berdasarkan apa yang diyakini dan menjadi sistem nilai-nilai yang dianutnya. Dalam hal ini, antara agama yang satu dengan yang lain dapat memiliki perbedaan di dalam merumuskan etika teologisnya.[rujukan?]

[sunting] Relasi Etika Filosofis dan Etika Teologis

Terdapat perdebatan mengenai posisi etika filosofis dan etika teologis di dalam ranah etika.[rujukan?] Sepanjang sejarah pertemuan antara kedua etika ini, ada tiga jawaban menonjol yang dikemukakan mengenai pertanyaan di atas, yaitu:[8]
Tanggapan ini berasal dari Augustinus (354-430) yang menyatakan bahwa etika teologis bertugas untuk merevisi, yaitu mengoreksi dan memperbaiki etika filosofis.
Jawaban ini dikemukakan oleh Thomas Aquinas (1225-1274) yang menyintesiskan etika filosofis dan etika teologis sedemikian rupa, hingga kedua jenis etika ini, dengan mempertahankan identitas masing-masing, menjadi suatu entitas baru. Hasilnya adalah etika filosofis menjadi lapisan bawah yang bersifat umum, sedangkan etika teologis menjadi lapisan atas yang bersifat khusus.
Jawaban ini diberikan oleh F.E.D. Schleiermacher (1768-1834) yang menganggap etika teologis dan etika filosofis sebagai gejala-gejala yang sejajar. Hal tersebut dapat diumpamakan seperti sepasang rel kereta api yang sejajar.
Mengenai pandangan-pandangan di atas, ada beberapa keberatan. Mengenai pandangan Augustinus, dapat dilihat dengan jelas bahwa etika filosofis tidak dihormati setingkat dengan etika teologis.[rujukan?] Terhadap pandangan Thomas Aquino, kritik yang dilancarkan juga sama yaitu belum dihormatinya etika filosofis yang setara dengan etika teologis, walaupun kedudukan etika filosofis telah diperkuat.[rujukan?] Terakhir, terhadap pandangan Schleiermacher, diberikan kritik bahwa meskipun keduanya telah dianggap setingkat namun belum ada pertemuan di antara mereka.[9]
Ada pendapat lain yang menyatakan perlunya suatu hubungan yang dialogis antara keduanya.[10] Dengan hubungan dialogis ini maka relasi keduanya dapat terjalin dan bukan hanya saling menatap dari dua horizon yang paralel saja.[rujukan?] Selanjutnya diharapkan dari hubungan yang dialogis ini dapat dicapai suatu tujuan bersama yang mulia, yaitu membantu manusia dalam bagaimana ia seharusnya hidup.

[sunting] Reference

  1. ^ [K. Bertens. 2000. Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 25.]
  2. ^ Etika, 24-25
  3. ^ Etika, 27-29
  4. ^ [Eka Darmaputera. 1987. Etika Sederhana Untuk Semua: Perkenalan Pertama. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 94.]
  5. ^ [Paul L. Lehmann. 1963. Ethics in a Christian Context. New York: Harper & Row Publishers, 25.]
  6. ^ [J.A.B. Jongeneel. 1980. Hukum Kemerdekaan Jilid 1. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 15-16.]
  7. ^ [J. Verkuyl. 1982. Etika Kristen Bagian Umum, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 17.]
  8. ^ Ethics in a Christian Context, 254
  9. ^ Ethics in a Christian Context, 254
  10. ^ Hukum Kemerdekaan Jilid 1, 38.

[sunting] Pranala luar

Ruang nama
Varian
Tindakan