SELAMAT DATANG DI BLOG SAYA,TERIMA KASIH SUDAH BERKUNJUNG...!!!
>

Kamis, 16 September 2010

10 Langkah untuk meningkatkan keimanan

islam Setiap anak yang baru lahir mengetahui bahwa Tuhannya hanya satu yaitu Allah Swt., tidak peduli keyakinan apa yang dipeluk oleh kedua orang tuanya. Namun bukan berarti seorang anak yang lahir dengan fitrah seperti itu, atau keyakinan alami, ketika nanti dia tumbuh besar akan menjadikannya seorang Muslim yang baik dan beriman.

Sudah menjadi tugas setiap Muslim untuk menjaga dan mengevaluasi kadar keimanannya. Artinya seseorang harus secara rutin menjaga imannya dan mengamati apakah kadar keimanannya berkurang atau bertambah dan mencari tahu apa sebabnya. Seandainya kadar keimanannya berkurang, maka ia harus meningkatkannya sebelum benar-benar turun hingga bisa menghancurkan hatinya. Terdapat banyak cara untuk meningkatkan kadar keimanan seseorang dan perbuatan-perbuatan itu termasuk di dalamnya dengan memperbanyak berbuat baik dan menghindari perbuatan dosa dan menjauhi orang yang mengajak kepada perbuatan dosa itu.

Ada 10 langkah yang bisa ditempuh guna meningkatkan kadar keimanan kita:

1. Membaca dan merenungkan ayat-ayat Al-Qur'an. Dengan begitu akan membuat hati tenang dan damai. Untuk mendapatkan manfaat yang lebih, anggap Allah sedang berbicara dengan kita. Manusia digambarkan dalam beberapa kategori di dalam Al-Qur'an; pikirkan kategori manusia seperti apa kita.

2. Menyadari kebesaran Allah Swt. Semuanya berada dalam kendali-Nya. Terdapat banyak tanda-tanda kebesaran-Nya yang bisa kita saksikan. Semua yang terjadi merupakan kehendak-Nya. Allah Swt. melihat dan mencatat segala sesuatu, bahkan seekor semut hitam yang berada di bebatuan hitam di dalam malam yang gelap gulita tanpa sinar bulan tetap akan terlihat dan dicatat.

3. Berusahalah untuk menambah pengetahuan, setidaknya sesuatu yang dasar dalam hidup kita misalkan bagaimana berwudhu yang benar. Mengetahui makna di balik nama-nama Allah dalam asmaul husna. Orang yang bertaqwa adalah mereka yang berilmu.

4. Menghadiri majelis-majelis yang di dalamnya berisi kegiatan untuk mengingat Allah. Dalam majelis seperti itu kita akan dikelilingi oleh para malaikat.

5. Kita harus memperbanyak perbuatan baik. Satu perbuatan baik akan diikuti oleh perbuatan baik lainnya. Allah Swt. akan mempermudah jalan bagi seseorang yang melakukan perbuatan baik. Perbuatan baik harus dilakukan secara terus menerus bukan cuma sesekali saja.

6. Kita harus takut akan kematian; mengingat mati akan membuat kita takut untuk berbuat kesenangan.

7. Mengingat beberapa tingkatan akhirat, contohnya ketika kita di dalam kubur, ketika kita diadili atau ketika kita di surga atau neraka.

8. Berdoa, sebagai realisasi bahwa kita membutuhkan Dia. Tundukkan diri kita dan jangan iri terdapat sesuatu yang berbau materi yang ada di dunia ini.

9. Cinta kita kepada Allah Swt. harus ditunjukkan dalam bukti nyata. Kita mengharap Allah akan menerima semua ibadah kita, dan menghindarkan kita dari berbuat dosa. Sebelum tidur, kita harus merenungkan perbuatan baik apa saja yang telah kita lakukan pada hari ini.

10. Menyadari dampak dari dosa dan ketidaktaatan- kadar keimanan seseorang akan meningkat dengan cara berbuat baik dan kadar keimanan kita akan menurun apabila berbuat maksiat. Semua yang terjadi merupakan kehendak-Nya. Ketika musibah menimpa kita- itupun berasal dari Allah Swt. Dan merupakan akibat langsung dari ketidaktaatan kita kepada-Nya.
Abah Anom Suryalaya

Posted by redaksi On 23 June 2007 106 Commented

Pendiri Pesantren Inabah, Suryalaya

Ahmad Shohibulwafa Tajul Arifin adalah nama asli Abah Anom. Lahir 1 Januari 1915 di Suryalaya, Tasikmalaya. Ia anak kelima dari Syekh Abdullah Mubarok bin Nur Muhammad, atau Abah Sepuh, pendiri Pesantren Suryalaya. Sebuah pesantren tasawuf yang khusus mengajarkan Thariqat Qadiriyyah Naqsabandiyah (TQN).

Ia memasuki bangku sekolah dasar (Vervooleg school) di Ciamis, pada usia 8 tahun. Lima tahun kemudian melanjutkan ke madrasah tsanawiyah di kota yang sama. Usai tsanawiyah, barulah ia belajar ilmu agama Islam, secara lebih khusus di berbagai pesantren.

Ia keluar masuk berbagai macam pesantren yang ada di sekitar Jawa Barat seperti, Pesantren Cicariang dan Pesantren Jambudwipa di Cianjur untuk ilmu-ilmu alat dan ushuluddin. Sedangkan di Pesantren Cireungas, ia juga belajar ilmu silat. Minatnya untuk belajar silat diperdalam ke Pesantren Citengah yang dipimpin oleh Haji Djunaedi yang terkenal ahli “alat”, jago silat dan ahli hikmat.

Kegemarannya menuntut ilmu, menyebabkan Abah Anom menguasai berbagai macam ilmu keislaman pada usia relatif muda (18 tahun). Didukung dengan ketertarikannya pada dunia pesantren, telah mendorong ayahnya yang dedengkot Thoriqot Qadiriyah Naqsabandiyah (TQN) untuk mengajarinya dzikir TQN. Sehingga ia menjadi wakil talqin ayahnya pada usia relatif muda.

Mungkin sejak itulah, ia lebih di kenal dengan sebutan Abah Anom. Ia resmi menjadi mursyid (pembimbing) TQN di Pesantren tasawuf itu sejak tahun 1950. Sebuah masa yang rawan dengan berbagai kekerasan bersenjata antar berbagai kelompok yang ada di masyarakat, terutama antara DI/TII melawan TNI.

“Tasawuf tidak hanya produk asli Islam, tapi ia telah berhasil mengembalikan umat Islam kepada keaslian agamanya pada kurun-kurun tertentu,” tegas Abah Anom, tentang eksistensi tasawuf dalam ajaran Islam.

Tasawuf yang dipahami Abah Anom, bukanlah kebanyakan tasawuf yang cenderung mengabaikan syari’ah karena mengutamakan dhauq (rasa). Menurutnya, sufi dan pengamal tarekat tidak boleh meninggalkan ilmu syari’ah atau ilmu fiqih. Bahkan, menurutnya lagi, ilmu syari’ah adalah jalan menuju ma’rifat.

Ia, sebagaimana lazimnya sosok sufi, tak ingin terkenal. “Ia amat sulit untuk diwawancarai wartawan, karena beliau tak ingin dikenal orang,” ungkap Ustadz Wahfiudin, mubaligh Jakarta yang menjadi salah seorang muridnya.

Kendati demikian, ia bukanlah sosok sufi yang lari ke hutan-hutan dan gunung-gunung, seperti legenda sufi yang sering mampir ke telinga kita. Yang hidup untuk dirinya sendiri, dan menuding masyarakat sebagai musuh yang menghalangi dirinya dari Allah swt. Ia akrab dengan berbagai medan kehidupan, mulai dari pertanian sampai pertempuran.

Pada tahun 50-60-an kondisi perekonomian rakyat amat mengkhawatirkan. Abah Anom turun sebagai pelopor pemberdayaan ekonomi umat. Ia aktif membangun irigasi untuk mengatur pertanian, juga pembangunan kincir angin untuk pembangkit tenaga listrik.

Bahkan Abah Anom membuat semacam program swasembada beras di kalangan masyarakat Jawa Barat untuk mengantisipasi krisis pangan. Aktivitas ini telah memaksa Menteri Kesejahteraan Rakyat Suprayogi dan Jendral A. H. Nasution untuk berkunjung dan meninjau aktifitas itu di Pesantren Suryalaya.

Medan pertempuran bukanlah wilayah asing bagi Abah Anom. Pada masa-masa perang kemerdekaan, bersama Brig. Jend. Akil bahu-membahu memulihkan keamanan dan ketertiban di wilayahnya. Ketika pemberontakan PKI meletus (1965), ia bersama para santrinya melakukan perlawanan bersenjata.

Bahkan tidak hanya sampai di situ, Abah Anom membuat program “rehabilitasi ruhani” bagi para mantan PKI. Tak heran, jika Abah mendapat berbagai penghargaan dari Jawatan Rohani Islam Kodam VI Siliwangi, Gubernur Jawa Barat dan instansi lainnya.

Medan pendidikan juga tak luput dari ruang aktivitasnya. Mulai dari pendirian Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah ‘Aliyah pada tahun 1977, sampai pendirian Institut Agama Islam Latifah Mubarokiyah pada tahun 1986.

Kiprahnya yang utuh di berbagai bidang kehidupan manusia, ternyata berawal dari pemahamannya tentang makna zuhud. Jika kebanyakan kaum sufi berpendapat zuhud adalah meninggalkan dunia, yang berdampak pada kemunduran umat Islam. Maka menurut pendapat Abah Anom,

“Zuhud adalah qasr al-’amal artinya, pendek angan-angan, tidak banyak mengkhayal dan bersikap realistis. Jadi zuhud bukan berarti makan ala kadarnya dan berpakaian compang camping.”

Abah merujuk pada surat An-Nur ayat 37 yaitu, “Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allah dan dari mendirikan shalat, (dari) membayarkan zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati menjadi guncang.”

Jadi, menurut beliau seorang yang zuhud adalah orang yang mampu mengendalikan harta kekayaannya untuk menjadi pelayannya, sedangkan ia sendiri dapat berkhidmat kepada Allah swt semata. Atau seperti dikatakan Syekh Abdul Qadir Jailani,

“Dudukkanlah dirimu bersama kehidupan duniawi, sedangkan kalbumu bersama kehidupan akhirat, dan rasamu bersama Rabbmu.”

Inabah

Mengentaskan manusia dari limbah kenistaan bukanlah perkara mudah. Abah Anom memiliki landasan teoritis yang kuat untuk merumuskan metode penyembuhan ruhani, semuanya ada dalam nama pesantren itu sendiri yaitu, Inabah.

Abah Anom menjadikan Inabah tidak hanya sekedar nama bagi pesantrennya, tapi lebih dari itu, ia adalah landasan teoritis untuk membebaskan pasien dari gangguan kejiwaan karena ketergantungan terhadap obat-obat terlarang. Dalam kacamata tasawuf, ia adalah nama sebuah peringkat ruhani (maqam), yang harus dilalui seorang sufi dalam perjalanan ruhani menuju Allah swt.

“..Salah satu hasil dari muraqabatullah adalah al-inabah yang maknanya kembali dari maksiat menuju kepada ketaatan kepada Allah swt karena merasa malu ‘melihat’ Allah,” jelas Abah yang merujuk pada kitab Taharat Al-Qulub.

Dalam teori inabah, untuk menancapkan iman dalam qalbu, tak ada cara lain kecuali dengan dzikir laa ilaha ilallah, cara ini di kalangan TQN disebut talqin. Demikian juga dalam mesikapi mereka yang dirawat di pesantren Inabah. Mereka harus diberikan ‘pedang’ untuk menghalau musuh-musuh di dalam hati mereka, pedang itu adalah dzikrullah.

Orang-orang yang dirawat di Inabah diperlakukan seperti orang yang terkena penyakit hati, yang terjebak dalam kesulitan, kebingungan dan kesedihan. Mereka telah dilalaikan dan disesatkan setan sehingga tak mampu lagi berdzikir pada-Nya. Ibarat orang yang tak memiliki senjata lagi menghadapi musuh-musuhnya. Walhasil, obat untuk mereka adalah dzikir.

Shalat adalah salah satu bentuk dzikir. Menurut pandangan Abah Anom, para pasien itu belum dapat shalat karena masih dalam keadaan mabuk (sukara), karena itu langkah awalnya adalah menyadarkan mereka dari keadaan mabuk dengan mandi junub. Apalagi sifat pemabuk adalah ghadab (pemarah), yang merupakan perbuatan syaithan yang terbuat dari api. Obatnya tiada lain kecuali air.

Jadi, selain dzikir dan shalat, untuk menyembuhkan para pasien itu digunakan metode wudlu dan mandi junub. Perpaduan kedua metode itu sampai kini tetap digunakan Abah Anom untuk mengobati para pasiennya dari yang paling ringan sampai yang paling berat, dan cukup berhasil. Buktinya, cabang Inabah tak hanya di Indonesia, di Singapura langsung berdiri sebuah cabang serta Malaysia dua buah cabang. Belum lagi tamu-tamu yang mengalir dari berbagai benua seperti Afrika, Eropa dan Amerika.

dari Suara Hidayatullah, 1999

sumber: http://muslimdelft.nl/titian_ilmu/biografi/abah_anom_sufi_yang_tak_men